metode penggorengan
ILMU PANGAN
Blog Personal dari DR. ELVIRA SYAMSIR. Staf Pengajar Dept. Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB
▼
Thursday, May 7, 2015
Deep Fat Frying - Penggorengan Dalam Minyak Banyak
Oleh Elvira Syamsir (Tulisan asli di dalam Kulinologi Indonesia, Mei 2015)
Penggorengan pada dasarnya merupakan proses pemanasan dengan menggunakan minyak goreng sebagai media penghantar panas. Ada berbagai teknik penggorengan dan deep fat frying merupakan satu teknik yang paling umum digunakan baik di rumah tangga, jasa boga maupun industri pangan. Produk gorengan sendiri sangat disukai konsumen karena tekstur dan citarasanya. Artikel ini akan mencoba membahas mengenai deep fat frying.
Proses penggorengan dengan sistim deep fat frying
Deep fat frying (DFF) merupakan teknik penggorengan yang menggunakan minyak dalam jumlah banyak sehingga bahan makanan dapat terendam seluruhnya di dalam minyak, selama proses penggorengan berlangsung. Minyak goreng berfungsi sebagai media pemanas. Proses penggorengan berlangsung pada suhu di atas titik didih air, biasanya antara 170°C sampai 190°C. Panas yang dipindahkan dari minyak goreng ke makanan akan membantu dalam pembentukan warna dan flavor. Selama proses penggorengan, terjadi beberapa tahapan berikut:
Penurunan suhu minyak goreng akibat dari masuknya makanan, sementara panas tambahan akan dipasok oleh sumber panas;
Peningkatan suhu makanan yang digoreng;
Perubahan air dipermukaan dan di bagian dalam makanan menjadi uap air;
Pengeringan permukaan (pada produk tebal) atau seluruh bagian produk (pada produk tipis) karena penguapan air yang terjadi secara bersamaan dengan penyerapan minyak;
Terjadinya reaksi antar komponen pangan yang bersama-sama dengan minyak akan membentuk warna, citarasa dan tekstur yang diinginkan.
Suhu proses penggorengan terutama ditentukan oleh karakteristik produk yang diinginkan disamping pertimbangan ekonomis. Suhu tinggi dapat digunakan jika ingin membuat produk gorengan dengan karakteristik permukaan yang kering sementara bagian dalamnya basah. Sebaliknya, jika seluruh bagian produk diinginkan kering selama proses penggorengan, maka suhu penggorengan harus lebih rendah agar air dapat diuapkan secara sempurna sebelum bagian permukaan kering dan membentuk kulit (crust). Sementara itu, jika menggoreng makanan basah yang berpotensi untuk ditumbuhi mikroba patogen, suhu perlu diatur agar bagian pusat (tengah) produk telah memperoleh panas yang cukup untuk membunuh mikroba patogen tanpa merubah karakteristik sensori yang diinginkan. Dari aspek ekonomis, frekuensi penggantian minyak akan meningkat pada penggorengan dengan suhu tinggi. Hal ini karena suhu tinggi mempercepat kerusakan minyak goreng yang ditandai oleh perubahan warna, flavor dan kekentalan minyak.
Lama waktu penggorengan bervariasi antar makanan. Beberapa faktor penentu lamanya waktu penggorengan adalah jenis makanan yang digoreng, suhu proses penggorengan yang digunakan, ketebalan makanan yang digoreng dan karakteristik produk akhir yang diinginkan.
Perubahan produk selama proses penggorengan
Makanan yang digoreng akan mengalami beberapa perubahan baik perubahan kimia ataupun fisik, diantaranya pembentukan kulit (crust), perubahan citarasa, aroma, tekstur, warna, pengurangan kadar air, penyerapan minyak, kerusakan vitamin, gelatinisasi dan denaturasi/koagulasi protein. Secara sensori, produk gorengan bermutu baik akan memiliki warna kuning keemasan, aroma dan citarasa khas produk goreng dan tekstur yang renyah.
Lapisan kulit biasanya terbentuk dipermukaan produk gorengan berukuran tebal, yang disebabkan oleh penguapan air dan pengeringan di permukaan makanan. Lapisan kering tersebut akan membentuk tekstur renyah di permukaan produk gorengan. Sementara itu, pada produk yang tipis, penggorengan akan mengeringkan seluruh bagian produk sehingga didapatkan produk yang renyah.
Warna kuning keemasan pada produk gorengan disebabkan oleh reaksi pencoklatan non enzimatis yang berlangsung secara cepat di permukaan produk. Tekstu
Komentar
Posting Komentar